Negosiasi jual beli di pasar tradisional Jogja terkadang terasa alot. Hingga pada suatu titik tertentu transaksi disepakati pedagang seraya mengatakan ‘tuno sathak bathi sanak’ (rugi harta untung persaudaraan).
Ketika kita mendengar ungkapan tersebut dari seorang pedagang, kemungkinannya ada 2 (dua). Pertama: keuntungan pedagang ‘tipis’. Kedua: pedagang merasa harus memutar uang (modal) sehingga barang yang dinegosiasikan harus terjual meski dalam hitungan ‘rugi’. Kedua kemungkinan tersebut substansinya tetap sama: pedagang diuntungkan. Artinya masih ada kemungkinan ungkapan tersebut sekedar basa-basi pedagang.
Akan tetapi ketika kita bertransaksi dengan mbah Siswo Suwarno (mbah Sis), ada kemungkinan pikiran kita berubah. Apalagi kita mengenal beliau dengan baik. Ketika kita bertransaksi dengan beliau, tak segan-segan timbangan salak diberikan cukup hangat. Di akhir transaksi kadang masih diberikan tambahan untuk sekedar ‘icip-icip’ (mencicipi).
Mbah Sis adalah seorang petani salak di Kelor. Hasil panen salak lebih sering dijual ke pengepul salak. Pada sisi lain, beliau merupakan pihak yang dituakan di dapur umum kami. Posisi tersebut ‘memaksanya’ (dan beliau rela) untuk hanya sesekali menjual langsung ke konsumen.
Mbah Sis bukanlah pedagang, jadi tak pernah mengungkapkan kata-kata ‘tuno sathak bathi sanak’. Kerelaannya untuk banyak mengalokasikan waktu di dapur umum dan tambahan ‘icip-icip’ yang diberikannya, menegaskan pada kami bahwa ‘tuno sathak bathi sanak’ bagi seorang mbah Sis bukan sekedar basa-basi.
~!@#$%^&*()_+